Sejenak lantunan syair keluar dari mulutku. Ya.. secercah pagi ini kumulai dengan semangat menggebu, sehangat mentari yang malu untuk menunjukan jati diri. Perlahan namun pasti, detik berdetak bagai pompa darah yang enggan berhenti kecuali dengan izin sang Ilahi. Hirup napas kombinasi sesejuk waktu fajar kuisi degan lari pagi, stretching, dan ditutup cooling down hingga tetes keringat membasahi pipi. Lengkap sudah, cukup untuk mengeluarkan zat kotor dalam tubuh. Kini jarum jam persis membentuk sudut 180 derajat. Pertanda pagi.
Sudah rapi, benak hati. Berbeda dengan hari terdahulu, hari ini sangat kunantikan.
Jaket, alat tulis, berkas, semuanya sudah aku packing dengan rapi. Serapi penampilanku. Sungguh elegan, tak enggan untuk segera menanti hari ini. Ridho telah kudapati, doa pun menyertai, al-ma’tsurat kian jadi ritual sehari-hari.
***
Penantian itu semakin pudar saat gas motor yang kukendarai mencapai rumah tujuanku. Berkas kubuka, terdapat nama Alan Nuary di sana. Mulutku lantas mengucap salam. Dari dalam sana, suara ibu terdengar membalas salamku. Alhamdulillah, perjuangan menuju tempat ini telah sampai. Hilang sudah jalan sempit dengan bau busuk got yang mampet. Kini rumah kecil menyambutku dengan hangat, meski aku bingung di mana letak pintu masuk rumah ini. Namun itu hanya sesaat, karena ibu setengah tua dengan senyum merekah segera muncul dari balik seng rumah, hingga kutahu bahwa itu adalah pintu masuk rumah ini.
Panas di dalam rumah tak terasa. Jamuan sederhana seakan menyejukkan suasana. Perkenalanku kepada si ibu menjadi awal pembicaraan, memulai maksud kedatanganku untuk menemui si anak kebanggan. Namun sayang, aku tidak dapat menemukan anak si ibu itu. Si anak kini tidak di tempat, karena kondisi ekonomi memaksanya untuk mencari uang demi memperpanjang nafas keluarga. Alan, begitu ia biasa dipanggil, adalah sosok pemuda dengan segudang prestasi. Deretan piala olimpiade MIPA menjadi buktinya. Namun, prestasi gemilang Alan berbanding terbalik dengan kondisinya saat ini. Ia menjadi tulang punggung keluarga, hingga impian duduk di bangku kuliah hampir sirna. Tes SNMPTN telewat begitu saja, tiada uang pendaftaran yang menjadi alasannya. Wajah sendu ibunya menampakkan sirat duka. Hanya doa yang menjadi harapan untuk anak-anaknya. Hanya Alanlah yang menjadi tumpuan, kakaknya kini tak dapat diharapkan, kaki lumpuhnya yang menjadi alasan. Begitu juga dengan adik-adiknya yang kini masih berusia belia. Aku tersadar, perjuanganku kini tidak seberapa dibanding mereka untuk mencapai cita. Dan tidak ada kata yang pantas selain kata syukur yang wajib terucap .
***
Kini mentari tak malu lagi menampakkan diri. Cahayanya semakin santer menusuk bumi. Jalan syukur kudapatkan hari ini.
http://telagainspirasi.com/2012/07/06/jalan-syukur/
x
Tidak ada komentar:
Posting Komentar