Senin, 06 Februari 2012

INI TENTANG KAMPUNGKU, KAWAN!!! (Part 1, Merantau di kampung Sendiri)







“Merantau di kampung sendiri”, begitu kata ibuku. Yaa, aku mencoba meresapi apa yang ibuku katakan itu, memang aku kini sedang merantau, tetapi di kampung sendiri, kawan. Tak perlu menyebrangi pulau, tak perlu mengarungi samudera bahkan tak perlu lebaran untuk kembali ke kampung halaman. Di sinilah aku merantau, di sebuah kota dengan keindahan heterogenitas penduduk yang ada, di kota yang kini sedang mencari identitas budayanya, entah bingung ataukah memang tidak ada, bagiku kota ini mempunyai budayanya yang berbeda, perpaduan budaya ibu kota yang notabenenya betawi dengan budaya sunda yang memang kota ini berada di provinsi Jawa Barat.



Yaa, inilah kota Depok, kawan. Tempat aku di lahirkan, hingga merantau saat ini. Kota ku memang saat ini sudah bermetamorfosis, dimana dahulu kota ini terkenal dengan sebutan “tempat jin buang anak”, cerita kakeku. Tidak salah memang, kakek ku berkata seperti itu, pohon besar, tanah tak beraspal dan kampung yang sepi, tak pelak menjadikan kota ku yang dahulu ini mendapat sebutan seperti itu. Namun tengoklah kota ku saat ini, kawan. Kampus besar dan yang sudah melahirkan banyak orang terpandang, Pusat perbelanjaan yang kian marak dengan menampilkan kehedonisan, hingga aktifitas perekonomian yang menjadi penyanggah ibu kota. Alhasil, penduduk asli semakain terpingirkan, dan salah satunya ibuku, kawan. Tergusur, dari tanah leluhur, terbuang dari gerusan keserakahan, hingga akhirnya kami harus meniggalkan (Lihathttp://ilham-semangatberbagi.blogspot.com/2011/06/ui-ku-tanah-leluhurku.html#more:).

Bagai lentera kerasnya wajah jakarta, keluargaku pindah kesebuah tempat, tak jauh dari pusat kota, namun jauh dari kepenatan Kota. Yaa, sebuah kampung dengan potret wajah penuh ramah, ceria dengan berbagai ceritanya, juga menyimpan pesona keunikannya. Citayam kini tempat itu. Sebuah tempat pelarian dari kejamnya gusuran bagi keluarga ibuku. Dua puluh tahun sudah Ibuku menempati kampung itu hingga sesosok pemuda kampung asli, mengambil hati ibuku untuk menjadi pendamping hidupnya, beliau adalah ayahku kawan.

Sembilan belas tahun lamanya ibu telah sedikit demi sedikit melupakan kesan kampung asalnya, namun Kini atas takdir-Nya aku kembali ke kampung ibuku kawan, ya... kampung ibuku semula. Aku kembali tak sekedar kembali, aku kembali dengan tekad memperbaiki diri, di sebuah kampung yang kini berubah menjadi pusat pendidikan, yang katanya menjadi tempat pencetak orang terpandang di negeri yang masih berkembang. Benar kawan, aku merantau di kampung ku sendiri, untuk kuliah di universitas negeri yang paling banyak di minati di negeriku ini, Universitas Indonesia.

Tidak terasa setahun sudah berlalu, manis, pahit, suka dan duka selalu mewarnai perjalanan indah dalam kuliah. Inilah aku, kawan. sebuah kebanggaan keluargaku (semoga). Maklum saja, aku adalah keturunan keluarga kakaekku yang pertama dan merasakan bangku kuliah. Layaknya, sebuah lentera cerita dalam setahun ini, pastilah akan memberi kesan mulai dari yang berarti hingga kesan yang tak berpesan, dan yang pasti aku kini sedang “merantau di kampung sendiri”, kawan.

Meski aku merantau tak sampai menyebrang pulau, bahkan hanya setengah jam saja aku dapat kembali merasakan suasana di kampung halaman. Namun tidak membuat kisah rantauku sebatas kisah racau, kawan. Sebuah rasa syukur yang pantas untuk di panjatkan. Berbeda dengan banyak temanku yang lain, merantau menjadi pilhan, kampung halaman di tinggalkan, orangtua yang jauh dan juga kenangan yang terpisahkan. bagi mereka merantau adalah sebuah pilihan yang harus di lakukan demi sebuah harapan, yaitu cita yang menggiurkan untuk di raih meski hambatan menghadang.

Kembali tentang kampungku kawan dan bukan kampung ibuku yang kini berdiri pusat pendidikan juga yang kini marak dengan puasat perbelanjaan. Ini tentang kampungku yang sudah ku tinggalkan, kampung dimana aku dilahirkan, juga kampung yang menyimpan banyak kenangan. Berbicara tentang kenangan, aku kembali merasakan di kala aku kembali ke kampung halaman. Tepat di hari libur lebaran kala itu, kau kembali menginjakan kaki di kampungku sendiri, pesona kampung kala itu begitu syahdu seakan mengalun di sela langkah kakiku.

Sepanjang mata memandang, pesona kampung tak banyak meninggalkan kesan, hirup udara merasuk pikiran menerawang akan renda kisah di masa lalu. Kisah tentang kampungku kawan. kisah persahabatan, kisah percintaan di balik surat-suratan, hingga kisah harapan penghuni kampung yang terputus karena tidak ada uang. Semua akau ku ceritakan di lain kesempatan.


Next note:
(Part 2 : Pernik kampung pinggiran)

0 comments:

Posting Komentar